Masih ada Masyarakat yang Tak Merasakan Dampak Program Ketahanan Pangan, Begini Modus Penyimpangan Dana Desa

Masih ada Masyarakat yang Tak Merasakan Dampak Program Ketahanan Pangan, Begini Modus Penyimpangan Dana Desa

CYBER88.CO.ID, -- Program ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024. Sebagai panduan Desa diterbitkan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 7 tahun 2021 tentang prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2022, Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 8 tahun 2022 tentang prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2023 serta Keputusan Menteri Desa nomor 82 Tahun 2022 tentang Pedoman Ketahanan Pangan di Desa.

Di tahun 2022, dua puluh persen dari total dana desa atau sebesar Rp. 13,6 triliun untuk mendukung ketahanan pangan. Kebijakan ini akan tetap dilanjutkan pada tahun 2023 ini sebagai komitmen Pemerintah dalam mengantisipasi krisis pangan. 

Pemerintah menilai, penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan ini perlu dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat desa memiliki kemampuan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri.

Sebagai amanat Peraturan Presiden tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022, terkait salah satu prioritas penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan, setiap desa harus mengalokasikan besaran minimal 20 persen dari total pagu yang diterima. 

Melalui kebijakan ini diharapkan Pemerintah Desa dapat melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan potensi desanya. Bagaimana dana Desa dipergunakan untuk kegiatan tergantung pada hasil musyawarah Desa. 

Secara umum tujuan program ketahanan pangan adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, sehingga dapat menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk baik dari segi kualitas, kuantitas, keragaman dan keamanannya sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau;

Kemudian, program tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani atau masyarakat dan keluarganya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.

Sehingga, dengan terwujudnya ketahanan pangan yang mantap dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan penduduk miskin, khususnya di pedesaan.

Namun sayangnya, di lapangan masih banyak ditemukan indikasi terjadinya penyimpangan terkait program ketahanan pangan tersebut. Seperti sudah menjadi penyakit akut, setiap program kerap dijadikan azas manfaat oleh pihak pihak yang mencoba meraup keuntungan.

Setidaknya, Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama seperti, mark’up, Kegiatan gelap atau fiktif dan penyunatan anggaran karena modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, dalam pengadaan barang, pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis. Cara lain, mengurangi jumlah barang.

Ada juga modus yang sering digunakan adalah realisasi fiktif. Ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. 

Tak hanya itu, adanya program ketahanan pangan, berdasarkan penelusuran Cyber88.co.id di beberapa Kabupaten di Jawa barat termasuk di Kabupaten Bandung, banyak ditemukan tak bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Contohnya, di salah satu desa di Kabupaten Tasikmalaya, ada dana desa untuk ketahanan pangan yang seharusnya direalisasikan di tahap kesatu, direalisasikan di akhir tahun yakni dibulan Desember. Sehingga, di tahun 2022 masyarakat takmerasakan dampak dari program ketahanan pangan tersebut. Terlebih terjadinya dugaam Mark’up anggaran.

Kemudian di Kabupaten Bandung, ada salah satu desa yang merealisasikan dana desa ketahanan pangan untuk budidaya perikanan. Namun, pada kenyataannya ikan ikan itu hingga kini malah berada di salah satu tempat penjualan dan penampungan ikan. Pihak Pemerintah Desa berdalih, kolam atau tambak ikan untuk kegiatan Ketahanan Pangan  anggaran 2022  belum bisa di gunakan.

Hal tersebut tentu saja memancing reaksi beberapa warga yang menilai pihak pemerintah desa tidak matang dalam merencakanan sebuah program. Wagra pun ada yang menduga duga ada sesuatu yang disembunyikan yag terimpikasi pada penyimpangan anggaran.

Sama seperti halnya di Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat mengaku tak merasakan dampak program ketahanan pangan tersebut.  

Mengulas terkait keseluruhan dana desa, ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa diantaranya: 

Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. 

Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.

Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. 

Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.

Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.

Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.

Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.

Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.
Penguatan pendampingan

Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.

Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. 

Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Bahkan mereka kerap ikut ikutan dalam melakukan penyimpangan

Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah, “Hanya Jadi Tukang Stempel Kepala Sekolah”.

Padahal, posisi dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. 

Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.

Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud. 

Disatu sisi, banyak masyarakat yang menilai pihak pihak terkait seperti Inspektorat dan aparat penegak hukum seolah tutup mata. 

Tak ayal, Hal ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait sejauh mana peran fungsi Inspektorat Daerag yang mempunyai tugas membantu Bupati melakukan membina dan mengawasi pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan oleh perangkat daerah.

Masyarakat sekarang sudah melek dan mengetahui, selain memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah desa, inspektorat juga harus mengecek kelengkapan administrasi desa, seperti peraturan desa, surat-surat keputusan, daftar aset desa, buku kinerja perangkat desa, dll.

Oleh karenanya, banyak masyarakat yang menilai kalau laporah hasil pemeriksaan (LHP) yang disampaikan inspektorat ke pemerintahan daerah diduga terindikasi adanya Manipulasi atau Maladministrasi
 
“Jika hasil LHP inspektorat saja pada pihak Pemda terindikasi diduga dimanipulasi, bagaimanakah dengan laporan - laporan lainya...?. Jadi, dalam kewajaran bila hal lainya berpotensi mencurigakan. Begitu pernyataan beberapa tokoh saat diminta perdapat soal dana desa. (Red)

Komentar Via Facebook :