Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

 

Oleh: Mahmud Marhaba
(Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber - PJS)

CYBER88 | Jakarta — Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan; ia adalah panggilan etika, penjaga informasi publik, dan pilar demokrasi. Wartawan dituntut independen, kritis, dan total dalam menjalankan tugas jurnalistik. Karena itu, menjadi wartawan tidak bisa dilakukan setengah hati—apalagi dirangkap dengan jabatan lain seperti ASN, pengurus LSM, atau profesi hukum.

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan media daring yang mengungkap praktik jual beli kartu wartawan kepada ASN, dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000. Ini tidak hanya mencoreng profesi, tapi juga menghancurkan kredibilitas jurnalisme di mata publik. Wartawan sejati tidak dilahirkan dari transaksi, melainkan dari integritas, dedikasi, dan pemahaman terhadap kode etik jurnalistik.

Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memperjualbelikan kartu identitas wartawan kepada pihak yang tidak layak. Dewan Pers perlu memanggil pimpinan media tersebut untuk klarifikasi, dan jika terbukti, menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Profesi yang Menuntut Totalitas

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik yang meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi—sering dikenal sebagai prinsip 6M.

Prinsip ini menuntut wartawan untuk bekerja penuh waktu, terjun ke lapangan, melakukan verifikasi, wawancara, hingga menulis berita secara seimbang dan bertanggung jawab. Lantas, bagaimana mungkin seorang ASN yang terikat kewajiban negara dapat menjalankan semua itu dengan profesional dan independen?

Independensi Tak Bisa Ditawar

ASN, TNI/Polri, pengacara, hingga pengurus LSM tidak boleh merangkap sebagai wartawan aktif karena akan menciptakan konflik kepentingan. Wartawan harus berdiri netral dan tak terikat struktur birokrasi atau kepentingan institusional. Bila seorang pejabat publik juga beridentitas sebagai wartawan, bagaimana mungkin ia bisa mengkritisi sistem yang menghidupinya?

Larangan rangkap jabatan ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan upaya menjaga independensi pers. Dewan Pers melalui berbagai forum telah menegaskan bahwa wartawan sejati harus bebas dari tekanan dan konflik kepentingan. Dalam dunia jurnalistik, tidak ada ruang abu-abu.

Tegakkan Etika, Bersihkan Profesi

Praktik jual beli kartu wartawan tidak hanya mencoreng profesi, tapi juga rawan disalahgunakan untuk pemerasan, intervensi, hingga pelanggaran etik di institusi pemerintahan. Ini adalah persoalan serius. Dewan Pers harus segera bertindak tegas terhadap media-media yang melanggar prinsip dasar jurnalisme.

Aparat penegak hukum pun harus dapat membedakan antara wartawan profesional yang bekerja berdasarkan kode etik, dan oknum yang hanya mengejar atribut untuk kepentingan pribadi.

Menjaga Martabat Pers, Menjaga Demokrasi

Jika profesi ini terus dikotori oleh pihak tak berkompeten, maka kita sedang menggiring jurnalisme menjadi alat pencitraan dan kekuasaan. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi dan kepercayaan publik terhadap media.

Saya menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan—media, pemerintah, ASN, organisasi masyarakat sipil—untuk bersama menjaga marwah profesi wartawan. Profesi ini bukan milik semua orang, tetapi bagi mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan publik.

 

Komentar Via Facebook :