KPK Minta Keterangan Dirjen PSKL Terkait LPHD Rantau Kasih

KPK Minta Keterangan Dirjen PSKL Terkait LPHD Rantau Kasih

(foto Istw/int)

CYBER88 | Pekanbaru - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespon  laporan Forum Pembela Hak-Hak Masyarakat Tempatan (FPHMT), terkait tindak pidana perambahan hutan desa, di atas lahan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Rantau Kasih Kecamatan Kampar Kiri Hilir, yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 40,7 miliar.

Menindak lanjuti laporan tersebut, belum lama ini, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah  meminta keterangan dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) di Jakarta.  Hal itu dikatakan Harapan kepada  Cyber88, Jumat, 25 April 2025 di Pekanbaru.

Tujuan petugas KPK memberitahukan perkembangan laporan FPHMT melalui telepon selulernya, agar kita sebagai pelapor mengetahui perkembangan sekaligus, menyiapkan penambahan data-data yang dibutuhkan.

Melalui percakapan telepon itu, petugas KPK yang enggan namanya di publikasikan itu memberitahukan bahwa, menurut Dirjen PSKL, pemberian ijin pengelolaan hutan desa seluas 1.568 hektar kepada LPHD Rantau Kasih, telah sesuai prosedur.

“Semua sudah sesuai prosedur,” kata petugas KPK melalui telepon menirukan penjelasan pihak Dirjen PSKL.

Persoalannya baru timbul setelah ijinnya terbit. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sorek menerbitkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemanenan kayu diatas lahan LPHD Rantau Kasih, padahal belum memiliki sertifikasi dari PT Lambboja. Menurut Dirjen PSKL, benang merahnya, mengapa KPH Sorek menerbitkan RKT, dan itu yang harus dimintai pertanggung-jawaban.

Sertifikasi Lamboja itu menjelaskan mana kayu yang dapat ditebang untuk di panen. “Disitu masalahnya,” kata petugas KPK kepada Harapan menirukan penjelasan Dirjen PSKL.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, petugas KPK  kemungkinan akan turun ke Riau untuk meminta keterangan dari petugas KPH Sorek, apa alasannya sehingga menerbitkan RKT pemanenan kayu di atas lahan LPHD Rantau Kasih sebelum sertifikasi dari PT Lamboja terbit.

Selain meminta keterangan dari KPH, dimungkinkan juga petugas KPK akan meminta keterrangan dari berbagai pihak, termasuk pengurus LPHD Rantau Kasih dan perusahaan pembeli bahan bakunya, ujar petugas KPK tersebut sambil menutup ponselnya.

Ditempat terpisah, Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) Sorek Amry Setiawan kepada Cyber88 melalui whatsaap menjelaskan, sesuai Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 09 tahun 2021, setiap pemegang izin Perhutanan Sosial (PS) wajib membuat RKPS yang disahkan Balai PSKL, dan selanjutnya RKT disahkan KPH. Jadi dasar  KPH mensahkan RKT, karena RKPS sudah disahkan oleh Balai PSKL. Artinya kata Amry, RKT tidak akan disahkan sebelum adanya RKPS dari Balai PSKL.

Terkait sertifikasi Lamboja kata Amry, itu merupakan syarat yang dibebankan kepada unit usaha atau badan usaha yang menjalin kerjasama dengan KTH pemegang ijin PS, untuk pemanfaatan hasil hutan kayu atau mengelola hasil hutan berupa kayu dalam kawasan PS. Sertifikat itu dikeluarkan oleh lembaga yang independen dan berbadan hukum serta ditetapkan kementerian. Sementara untuk badan usaha yang menjalin kerjasama dengan LPHD Rantau Kasih, sudah mengantongi sertifikat Lamboja  sebelum melakukan pemanenan di wilayah ijin PS  LPHD Rantau Kasih, ujar Amry. 

Sebagaimana diberitakan Cyber88 sebelumnya, Perhutanan Sosial (PS) seluas 1.568 hektar di Desa Rantau Kasih, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar yang dipercayakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia kepada Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Rantau Kasih Bersatu, sebagaimana Surat Keputusan nomor: SK.9862/MENLHK-PSKL/PSL.0/9/2023, mengundang pertanyaan berbagai pihak. Lokasi ijinnya sekitar 421 hektar berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas  dan 1.147 ha berada di kawasan Hutan Produksi Tetap. 

Hutan desa yang dimohonkan itu berada diatas lahan yang tadinya sudah ditanami PT RAPP kayu akasia dengan istilah “keterlanjuran tanam”. Untuk memuluskan persyaratan perolehan ijin, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) Sorek yang saat itu dijabat Dewi, kabarnya, membuat surat Rekomendasi Pertimbangan Tehnik (Pertek) menyatakan bahwa, lahan yang dimohonkan itu hutan alam yang masih utuh, artinya belum terdapat tanaman lain.

Setelah ijin Nomor : SK.9862/MENLHK-PSKL/PSL.0/9/2023 terbit, muncul berbagai kejanggalan. Tanggal 14 Maret 2024, pengurus Lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu mengirim  surat permohonan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prov Riau. Isi suratnya menyatakan bahwa tanaman yang berada dalam hutan desa merupakan asset milik Lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu yang ditanam sendiri mulai tahun 2014, 2015 dan 2016. Surat itu di tandatangani ketua, sekretaris dan bendahara diatas kertas ber-meterai cukup dan diketahui Kepala Desa Rantau Kasih.

Mengetahui dokumen proses panen kayu akasia segera keluar, pengurus Lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu membuat surat perjanjian jual beli tegakan kayu akasia dilokasi ijin dengan PT Nusa Prima Manunggal (NPM) dengan kesepakatan harga Rp 5 juta per - hektar. Setelah itu, Adi Syaputra Ketua LD Rantau Kasih Bersatu, Jonni Fiter Suplus Ketua Koperasi

Pancuran Gading dan Salfian Daliandi Direktur PT SPR Trada membuat kesepakatan  hasil jual beli tegakan kayunya. Rinciannya, penjualan kayu dari lahan 1500 hektar x Rp 5 juta jumlahnya Rp 7,5 miliar, sedangkan lahan 68 hektar merupakan bagian raja yaitu 30 persen, namun pembagian raja itu dijual lagi kepada pihak ketiga. 

Kabarnya, hasil penjualan sebesar Rp 7,5 milair itu mereka bagi-bagi. Antara  lain untuk Lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu Rp 2 miliar, Koperasi Pancuran Gading Rp 2 miliar dan PT Sarana Pembangunan Riau Trada Rp 2 milair. Sementara dana Rp 1,5 miliar lagi dipergunakan untuk biaya operasional pemanenan kayu.

Tragisnya, setelah kesepakatan bagi-bagi uang hasil lahan ijin  Lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu, muncul lagi perjanjian baru, namanya “Perjanjian Pemberian Fee Tegakan Kayu”.

Dihadapan notaries Ira Asiska, Senin 27 Mei 2024 Adi Syaputra selaku Ketua LPHD Rantau Kasih menyatakan bersedia memberikan fee dari penjualan hasil tegakan kayu kepada pihak kedua yaitu Jonni Fiter Suplus selaku Perwakilan Masyarakat Adat Kenegerian Gunung Sahilan dan Salfian Daliandri Direktur PT SPR Trada.

Adapun besaran fee yang diberikan LPHD Rantau Kasih sebesar Rp 120 ribu per-ton dari tegakan kayu yang dihitung dari dokumen SKSHHK ( Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu). Sementara hasil penjualan tegakan kayu akasia dari lokasi ijin LD Rantau Kasih Bersatu ke perusahaan PT NPM menurut Harapan Nainggolan, nilainya mencapai Rp 40,7 miliar.

Komentar Via Facebook :