Menteri Uji Coba Produk Gagal DMO dan DPO Dalam Industri Sawit
CYBER88 | Jakarta - Setelah satu bulan kurang 1 hari Larangan Ekspor, akhirnya pemerintah kembali mengizinkan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya, mulai Senin (23/5/2022). Menurut Presiden Joko Widodo, keputusan itu ditempuh mempertimbangkan pasokan minyak goreng (migor) yang semakin melimpah dan tren penurunan harga minyak goreng.
Menindaklanjuti keputusan Jokowi tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) baru. Yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No 30/2022 tentang Ketentuan Eskpor Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein, and Used Cooking Oil diundangkan dan berlaku pada Senin, 23 Mei 2022.
Pasal 3 ayat (1) pada permendag tersebut menetapkan, ekspor CPO, RBD Palm Oil, RBD Palm Olein, dan UCO dapat dilakukan hanya eksportir yang sudah mendapat persetujuan ekspor (PE). Untuk mendapatkan PE, pada ayat (2) huruf a ditetapkan, eksportir haru mempunyai bukti pelaksanaan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/ DMO) kepada produsen minyak goreng curah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hanya saja, hingga saat ini, petunjuk dan ketentuan teknis mengenai DMO tersebut belum diterbitkan. Setidaknya, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah hingga berita ini ditayangkan.
Menteri Salah Menterjemahkan
Para stakeholder sawit, Pusat Studi Sawit dan Akademisi banyak yang terkejut atas lanjutan kebijakan dari Pidato Presiden Jokowi (19/5) yang dalam bentuk DMO dan DPO, dimana sebelumnya regulasi ini sudah gagal total mengamankan amanah Presiden Jokowi. Menanggapi peraturan baru tersebut, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung mempertanyakan tujuan pemerintah melalui Permendag No 30/2022.
"Saya nggak ngerti kenapa dibuat rumit? Lalu kenapa kembali ke kebijakan DMO yang sudah gagal? Mau bagaimana pun dibuat mekanismenya, untuk kondisi saat ini, nggak akan bisa. Ngapain? Tujuannya apa?," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, Selasa (24/5/2022).
"Bulan Februari 2022 kebijakan serupa gagal menjaga ketersediaan dan harga migor domestik. Kenapa diulang lagi ya? Apa sebetulnya tujuan pemerintah dengan bongkar pasang kebijakan tersebut?," lanjutnya. Belum lagi, imbuh dia, eksportir masih diwajibkan menyampaikan laporan realisasi ekspor, itu semua butuh waktu.
"Kan di pabean ada. Jelas di situ ada termasuk kode HS-nya. Di sistem kepabeanan semua itu ada, kan ada pembayaran pungutan ekspor dan bea keluar (BK). Semua itu ada kode HS-nya. Nggak ngerti ini Kemendag (Kementerian Perdagangan) melakukan kebijakan berulang tapi nggak ada tujuan dan nggak punya tools untuk itu," ujarnya.
Jika pemerintah ingin fokus menyediakan minyak goreng curah Rp14.000 per liter, kata dia, manfaatkan dana BPDPKS secara optimal. Dengan mengerahkan sinergi Bulog dan BUMN lainnya.
"Kenapa kebijakan yang sederhana ini tidak ditempuh Kementerian terkait? Jika kembali ke kebijakan DMO dan DPO tersebut akan terjadi 'black market', migor tertumpuk karena tidak ada biaya distribusi dan insentif, penyeludupan ke luar akibat disparitas harga domestik dengan luar negeri, migor tak tersedia, target harga migor Rp 14000/ liter level konsumen tidak akan tercapai," kata Tungkot. Selain itu, dia menambahkan, prosedur ekspor (PE dan realisasi PE) juga bisa memperlambat ekspor. "Juga potensial terjadi manipulasi administrasi. Secara visual yang bukan ahli sulit bedakan mana CP," kata Tungkot.
Sementara itu, Sekjen Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, hingga saat ini, ekspor CPO dan turunannya belum berjalan normal. Rencananya, kata dia, hari ini akan ada sosialisasi mengenai pelaksanaan ekspor yang baru saja dibuka kembali oleh Jokowi.
"Setahu saya belum berjalan normal, rencana hari ini ada sosialisasi lagi. Kan baru kemarin dibuka perlu persiapan utamanya izin, pengangkutannya dll," kata Eddy kepada CNBC Indonesia, Selasa (24/5/2022).
"Kalau DMO saja tidak ada masalah karena produksi kita jauh diatas kebutuhan migor lokal. Ya tidak ada masalah, yang kita tunggu aturan detailnya, info rapat kemarin hari ini akan disampaikan," pungkas Eddy.
Kondisi saat ini justru ditanggapi lebih keras lagi oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
“Kami tidak mau tau apapun itu aturannya, yang penting kembalikan harga TBS kami ke harga normal”, ujar Dr. Gulat ME Manurung, MP.,CIMA.,CAPO, Ketua Umum DPP APKASINDO. Kami sudah capek aksi keprihatinan (17/5) ke Jakarta dan 146 Kabupaten Kota APKASINDO, meminta Presiden mencabut LE, dan berhasil. “eh kok malah Menterinya plin-plan dalam menterjemahkan keinginan Presiden?”, ujar Gulat kepada CYBER88.
Ketidakpastian regulasi Menteri inilah yang membuat harga TBS Petani tidak bergerak naik. Harga TBS Petani saat ini berkisar Rp.1.600-2.100/kg, dimana sebelum LE ditetapkan berkisar Rp.4.500. Bandingkan dengan harga TBS Petani di Malaysia yang per tgl 25 Mei Rp.5.500/kg.
Kenapa sampai terjadi ? karena memang faktanya eksport CPO dan turunannya masih belum berjalan sama sekali, karena peraturan tentang DMO dan DPO tersebut belum terbit, padahal sejak Presiden pidato tanggal 19 Mei tentang pencabutan larangan eksport, seharusnya Menteri terkait sudah pasang badan mempersiapkan regulasinya.
“Meskipun kami Petani Sawit trauma dengan aturan DMO dan DPO, karena sebelumnya pernah gagal total, kata Gulat.
Komentar Via Facebook :