Hari Tani Nasional 2025: Momentum Refleksi, Bukan Sekadar Akselerasi

Widiana Safaat, Ketua DPC HKTI Kabupaten Garut
CYBER88 | GARUT -- Oleh: Widiana Safaat, Ketua DPC HKTI Kabupaten Garut, Penasehat DPD Tani Merdeka Kabupaten Garut, Wakil Ketua Bidang Hilirisasi DPD Dewan Kopi Indonesia Jawa Barat, Penasehat Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Kabupaten Garut
Setiap tanggal 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional. Namun, peringatan ini bukan sekadar seremoni untuk merayakan panen atau mengenakan caping di sawah. Hari Tani adalah momentum refleksi mendalam—hari untuk menagih janji dan meluruskan kembali arah pembangunan pertanian kita.
Hari Tani lahir dari semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, sebuah produk hukum revolusioner yang bertujuan membongkar ketidakadilan sekaligus meletakkan tanah sebagai fondasi kemakmuran rakyat, terutama kaum tani.
Di tengah peringatan 65 tahun UUPA, kita dihadapkan pada visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto: percepatan swasembada pangan, energi, dan air terpadu sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 2025. Visi ini, ditambah dengan program hilirisasi pertanian yang ambisius, patut diapresiasi sebagai wujud kemauan politik yang kuat untuk menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Namun, sebagai insan tani yang setiap hari bergelut dengan lumpur dan ketidakpastian, kami memandang visi besar ini dengan harapan sekaligus kewaspadaan. Akselerasi adalah kata yang baik, tetapi akselerasi tanpa fondasi kokoh bisa berbahaya. Pertanyaannya: sudahkah program percepatan ini selaras dengan jiwa UUPA 1960?
Reforma Agraria: Fondasi yang Terlupakan
Inpres 14/2025 mengamanatkan pembukaan lahan skala besar di berbagai wilayah untuk Kawasan Swasembada. Di atas kertas, ini tampak sebagai solusi cepat untuk meningkatkan produksi. Namun, di lapangan kita tahu tanah bukanlah ruang kosong. Rencana ini berisiko tinggi mengulang kegagalan proyek food estate di masa lalu yang meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan memicu konflik agraria berkepanjangan.
Setiap tahun, termasuk tahun ini, para petani turun ke jalan menyuarakan tuntutan yang sama: laksanakan reforma agraria sejati. Bagaimana mungkin kita bicara swasembada pangan jika jutaan petani masih menjadi buruh di atas tanahnya sendiri, terancam penggusuran, dan terjerat konflik agraria yang tak kunjung usai?
Reforma Agraria bukan agenda sampingan—ia adalah prasyarat mutlak. Swasembada sejati tidak bisa dibangun di atas lahan sengketa. Keadilan agraria harus menjadi panglima sebelum traktor-traktor modern diturunkan.
Hilirisasi dan Koperasi: Pemberdayaan atau Kooptasi?
Program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian adalah keniscayaan. Kami di HKTI sangat mendukung upaya ini. Instrumen yang disiapkan pemerintah, yakni pembentukan Koperasi Desa Merah Putih secara masif, juga terdengar ideal untuk memotong rantai tengkulak dan meningkatkan posisi tawar petani.
Namun, kita harus kritis. Jangan sampai hilirisasi ini hanya memindahkan keuntungan dari tengkulak perorangan ke korporasi besar atau BUMN, sementara petani tetap menjadi price taker (penerima harga). Koperasi Desa Merah Putih harus tumbuh dari bawah, dikelola profesional dan otonom, bukan sekadar pemasok bahan baku yang dikontrol dalam sistem industri raksasa.
Pemberdayaan sejati berarti petani memiliki kontrol, bukan hanya dilibatkan sebagai “mur-baut” dalam mesin besar industrialisasi.
Komentar Via Facebook :